
Jakarta, Tribun- ABU DUJANA alias Pak Guru alias Ainul Bahri tak bisa menahan tangis. Air matanya menitik dan suaranya menjadi parau serta tersendat-sendat saat membacakan pledoi atau pembelaan dirinya di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Dengan mengenakan baju koko warna putih, celana dan peci warna hitam, Dujana tak malu menangis meski dalam dakwaan jaksa, Dujana disebut sebagai panglima sayap militer Al Jamaah Al Islamiyah (JI).
"Saya adalah korban dari berita yang dibesar-besarkan media massa...... Dalam batas tertentu, saya merasa terdzalimi.. ...," tegas Dujana dengan suara terbata-bata sambil menitikkan air mata.
"Saya disebut gembong teroris atau komplotan teroris atau seorang pembunuh atau orang yang berbahaya, atau tokoh penting dibalik aksi terorisme, padahal saya tidak terlibat baik langsung maupun tidak langsung. Saya bukan orang yang berada dibalik aksi pengeboman," tegas Dujana dengan suara parau.
Dujana juga mengkritik dengan keras tuntutan jaksa yang menuntutnya seumur hidup. Menurut Dujana, tuntutan tersebut tidak berdasar karena dari fakta di persidangan, tidak satupun fakta yang menyatakan dirinya terlibat dalam sejumlah pengeboman.
"Jaksa penuntut umum mengarahkan dakwaan dibuat secara tidak cermat dan teruji. JPU membuat membuat cerita-cerita rangkaian sehingga dibuat pas," lanjutnya.
"Apakah JPU malu menuntut ringan karena saya tidak terlibat? ataukah ada tekanan dari media massa?," tambahnya. Ditambahkan Dujana, JPU senang melihat orang lain terpenjara dan tidak peduli jeritan hati istri dan anak-anaknya.
"Berarti JPU telah menikam dengan saya dengan perbuatan keji dan sewenang-wenang. Jelas, itu menantang azab Allah," tegasnya.
Mengenai tuntutan seumur hidup, Dujana mengaku pasrah. "Saya pasrah pada Allah yang maha melihat dan maha mendengar," lanjut Dujana.
Dujana juga mengatakan bahwa Askari Syariah atau sayap militer yang ia pimpin, hanyalah untuk sekedar berlatih. Bukan berlatih dengan tujuan untuk melakukan serangan offensif.
Sedangkan terhadap senjata api dan bahan peledak yang Dujana perintahkan kepada Ayas untuk disimpan di Yogyakarta, itu semata-mata hanya untuk disimpan. Dan sesekali digunakan untuk berlatih.
Senjata tersebut ia simpan karena berkaca dari konflik di Poso, Ambon dan berbagai daerah, umat Islam hanya bisa mempertahankan diri dari serangan non Muslim dengan senjata. "Aset ini milik umat Islam untuk membela diri seperti di Ambon dan Poso," lanjutnya.
Dujana menambahkan, bahwa dirinya tidak memerintahkan Mahfud maupun Ayas untuk mengirimkan bahan peledak potasium ke Poso melalui Surabaya.
Dujana mengaku bertemu pertama kali dengan Noordin M Top di Bandung pada tahun 2003. Namun Dujana mengaku, saat itu Noordin M Top belum ditetapkan sebagai buronan. Dujana baru tahu, kalau Noordin ditetapkan sebagai buronan kasus terorisme pada awal tahun 2004.
Dujana juga membantah bahwa organisasi yang ia jalankan bersama teman-temannya adalah Al Jamaah Al Islamiyah (JI). "Saat saya disidik, setiap saya menyebutkan saya dan teman-teman, oleh penyidik dituliskan JI. Penyidik mengatakan, meskipun saya menolak, tetap akan ditulis dengan JI," terang Dujana.
Atas dasar itu, Dujana meminta kepada majelis hakim yang dipimpin Wahjono untuk menolak seluruh tuntutan jaksa. Dujana juga berharap, hakim menjatuhkan putusan seringan-ringannya dan kalau bisa dibebaskan dari hukuman.
Sebelum mengakhiri pembacaan pledoi, Dujana yang membaca doa sambil mengacungkan jarinya kembali menangis. "Semoga saya diselamatkan dari kedzaliman," ujar Dujana sambil kembali menangis. (persda network/yls)
0 komentar:
Post a Comment