

Telah 5 Keturunan Tinggal di Pulau Akar
Bagi warga Batam yang sering berwisata ke daerah Barelang, pasti akan melihat sejumlah pulau ukuran kecil tersebar sisi kanan dan kiri jalan. Pemadangan pertama mata setelah memasuki jembatan I Barelang, akan tertuju dengan sebuah pulau yang dikenal bernama Pulau Akar. Disebut pulau Akar karena dulunya banyak ditemui akar bakau yang menjulur hingga tengah laut.
Untuk berkunjung ke Pulau Akar, cukup menaiki pancung nelayan yang dapat mengangkut 10 orang. Penyeberangan dapat dilakukan dari Jembatan III Barelang, dengan waktu tempuh sekitar 15-20 menit.
Kesempatan Tribun dapat mengunjungi pulau Akar setelah diajak keluarga besar Tang Hie Kiaw (87), orang Tionghoa satu-satunya yang tinggal dan menetap di Pulau Akar sejak awal tahun 1900. Bahkan, neneka yang masih tampil berseri ini mengaku telah 5 keturunan hidup rukun dan mengembangkan pulau Akar.
Menurut cerita nenek Tang Hie Kiaw, dia datang ke pulau Akar sejak usia balita. Dia lahir dan dibawa oleh orang tuanya berlayar dari negeri Tionghoa (Cina). Tumbuh menjadi seorang remaja putri, Tang Hie Kiaw juga berpenampilan cukup menarik dan menjadi bunga di pulau tersebut.
Bagi warga Pulau Akar, Tang Hie dipanggil nenek Maknia, dan merupakan wanita tertua di Pulau yang berpenghuni kurang lebih 200 orang. Dengan usia senja tersebut, nenek Nia tetap tampil cantik, pesis dengan photo ketika masih mudanya.
Tingga bersama orang tua di pesisir pulau dengan rumah beridir ditepi laut, tentu saja banyak cerita yang masih diingatnya. Mulai cerita enaknya hidup ketika nusantara diduduki Belanda, hingga cerita sedih dan pilu massa penjajah dari Jepang datang ke Pulau Akar.
Nenek Nia, sendiri telah berkeluarga sejak usia belasan tahun, dengan seorang pemuda benama Lim Djak Kim. Hingga saat ini, nenek Nia telah memiliki anak 5 orang, dengan anak tertua berusia 70 tahun.
" Nenek itu masih ingat, kalau zaman Belanda semua serba enak.Bapak nenek sering belanja keluar masuk Singapura dan Malaysia dengan mudah. Tapi, memasuki penjajah Jepang, semua serba takut dan sengsara,"cerita Nenek Nia, Rabu (9/4).
Waktu tahun 1942 itu, umur nenek baru 16 tahun. Waktu itu nenek telah kawin dengan bapak Lim Djak Kim. Jaman penjajahan Jepang itu, nenek Nia sangat ketakutan dengan penculikan wanita oleh tentara Jepang. Bahkan setelah diculik tidak satupun yang pernah kembali.
"Karena Pulau Akar ini jadi jalur utama penghubung antara Singapura ke Sumatera, dan dianggap jalur aman dan alternatif, maka sewaktu orang-orang jepan datang ke pulau-pulau sekitar, seluruh anak remaja putri, atau wanita lari ke bukti dan bersembunyi. Nenek dapat cerita, ketika tentara Jepang datang ke pulau sebelah, mereka mengumpulkan wanita, kalau ada yang cantik dibawa paksa, dan bagi yang menolak orang tua atau wanitanya langsung ditembak mati. Pokoknya, yang wanitanya serba ketakutan, dan kalau laki-lakinya disuruh kerja paksa, belum lagi masyarakat melayu pulau banyak kelaparan, beruntung bapak kami warga keturunan dan sering disuruh beli beras ke Singapura. Sehingga ditengah perjalanan, beras ada disimpan disatu pulau, lalu dibagi-bagikan ke masyarakat lainnya,"ujar Nenek Nia yang terus bercerita.
Makam Leluhur Dijadikan Resort
Kunjungan Tribun dengan beberapa wartawan Batam, tentu didorang dari rasa ingin tahu seputar kesulitan yang dialamai oleh keluarga Nenek Nia dalam beberapa bulan terakhir. Ternyata nenek Nia atau Tang Hie Kiaw kawin dengan Lim Djak Kim, meninggalkan cerita heroik.
Sosok Lim Djak Kim ini ternyata sewaktu mudanya pernah bertugas dan membantu tentara KKO TNI AL, dalam massa konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia. Bagi pemeritah Indonesia pada tahun 1968, ditetapakan Lim Djak Kim salah seorang pejuang dan selayaknya menyandang predikat Veteran Perang.
Langkah perjuangan dan keberanian suami nenek Nia ini, diabadikan dengan dua lembar surat tugas yang ditanda tangani langsung oleh Komando Mandala Siaga, Komando Satuan Tugas Tjakra, Pasukan Tugas Khusus Surat keterangan Nomor 60/SK/Pastusus/1968. Lim Djak Kim No K.P 001/H/C, dan usai massa konfrontasi diakui sebagai pembantu yang digunakan oleh pasukan tugas chusu komando tugas "Tjakra".
Saat ini, Keluarga Nenek Nia tidak berkutik, ketika kuburan mertua (bapak Lim Djak Kim) dan adek kandungnya, yang berada di terancam di bongkar. Letak kuburan ini berada diarea lokasi yang akan di jadikan resort terbesar di wilayah jembatan I Barelang.
Diman (48), anak bungsu Nenek Nia mengaku pihak investor akan membongkar kuburan leluhur, jika bersikeras tetap di lokasi.
" Kami sekeluarga setuju saja kalau kuburan leluhur kami dipindahkan. Tapi adat dan tradisi memindahkan kuburan dalam aturan Tionghoa tidak semudah itu saja. Harus hitung hari, pangguil suhu dan pendetanya juga. Jadi tidak mudah dan tidak murah memindahkan itu. Selain makan keluarga, secara hukum pemerintahan, kami juga diberikan luas lahan tanah untuk dikembangkan di dalam area resort itu. Tapi, hingga saat ini, tidak ada pergantian lahannya. Wajarlah, karena kami hanya dianggap orang biasa. Kalau pemerintah memperhatikan kami, mungkin jasa bapak kami dapat menjadi pertimbangan juga,"ujar Diman mengakhiri. (dedy swd)
0 komentar:
Post a Comment